Kamis, November 28, 2013

Perjanjian dalam Berbisnis

Kasus berbisnis tidak beretika I

Hyundai Motor Company melakukan pengakhiran penjanjian sepihak atas pasokan suku cadang kendaraan niaga kepada PT Korindo Heavy Industri (KHI). Ulah Hyundai itu telah membuat KHI menggugat Hyundai ke PN Jakarta Selatn dengan nilai tuntutan total Rp 1,46 triliun.

Direktur KHI Seo Jeong Sik melalui kuasa hukumnya, Hotma Sitompoel & Associate mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pemutusan kontrak oleh Hyundai telah melanggar hukum, khususnya pada KUH Perdata Pasal 1338, dan 1365. Hyundai juga melanggar keputusan Menteri Perindustrian No 295/M/SK/7/1982 tentang keagenan tunggal. Perusahaan otomotif asal Korea Selatan ini juga menentang peraturan Menteri Perdagangan tentang ketentuan dan tata cara penerbitan surat perdaftaran agen.

"Pengakhiran pasokan suku cadang tidak ada alasan. Kami juga telah mengirimkan surat namun tidak pernah direspons. Perseroan juga melanggar etika bisnis yang baik, karena selama ini klien kami selalu mememuhi kewajibannya dengan maksimal," kata Hotma Sitompoel di kantornya, Jakarta, Jumat (16/3/2012).

KHI mengaku telah menelan kerugian tinggi, karena selama ini perseroan telah melakukan investasi bentuk lahan gedung, pabrik, mesin dan alat pendukung penjualan. Nilai kerugian materil mencapai Rp 1,26 triliun sedangkan kerugian immateril Rp 200 miliar. Hingga Hyundai diwajibkan membayar ganti rugi total Rp 1,46 triliun.

"Sampai dengan tuntutan ini selesai kami minta agar dilakukan sita jaminan terhadap semua aset dan setiap hak tagih Hyundai yang ada di Indonesia," tambahnya. Mediasi telah coba dilakukan kepada Hyundai namun tidak ada itikad baik dari produsen otomotif asal Korea itu. "Hyundai terbukti tidak menghormati hukum di Indonesia. Langkah ini juga menjadi pembelajaran bagi perusahaan asing agar menghormati perjanjian yang dibuat di Indonesia. Pemerintah harusnya bisa menaruh perhatian terhadap kasus dengan pola seperti ini," tegas Hotma.

Menurut Seo Jeong Sik, perjanjian KHI dengan Hyundai bersifat rolling per tahun dimana setiap 16 Juni dilakukan perpanjangan. Kontrak perdana diantara keduanya 16 Juni 2006 dan terbukti hingga 2010 penjualan suku cadang terus meningkat.

"Mereka diam-diam mengakhiri dan tidak ada masa peralihan sebelum kontrak berakhir bahwa akan ada pemutusan. Mereka telah hentikan mulai September 2010 atau pada masa kontrak," tutur Kuasa Hukum KHI, Husin Wiwanto. Seo Jeong Sik menegaskan, dengan pemutusan perjanjian ini karyawan KHI pun terpaksa di-PHK. Sementara itu, ekitar 400 karyawan dirumahkan dan kini menyisakan 90 orang.



Whery Enggo Prayogi - detikfinance

Dalam menanggapi kasus ini dapat kita lihat bahwa masalah pokok tertuju pada hal komunikasi yang dijalin antara kdua belah pihak tidak sampai dengan baik, terlebih pihak perusahaan otomotif Hyundai tidak menunjukkan keseriusannya menghadapi masalah terbut yang justru akan berdampak bagi pihak hyundai. Seharusnya kedua belah pihak bertemu dan melakukan perundingan yang menunjukan keseriusan dan menyertai dalam lindungan hukum.

Bisnis Pertambangan dan Perkebunan

Kasus etika berbisnis II

Badan Pemeriksa Keuangan memberikan laporan hasil pemeriksaan (LHP) tahun 2011 untuk 26 perusahaan tambang dan perkebunan yang diduga melakukan sejumlah tindak pidana ke Badan Reserse Kriminal Polri, Jakarta Selatan, Selasa (26/2/2013). Ke-26 perusahaan tersebut diduga telah merugikan negara Rp 90,6 miliar dan 38.000 dollar AS.

"Pemeriksaan ini menemukan 29 temuan yang melibatkan 26 perusahaan dengan angka potensi kerugian negara Rp 90,6 miliar dan 38.000 dollar AS," ujar anggota IV BPK, Ali Masykur Musa, di Bareskrim Polri, Selasa. Dia mengatakan sejumlah perusahaan itu melakukan pelanggaran dengan tiga cara yang berbeda.
Pertama, kata Ali, adalah penyalahgunaan dengan tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan, dilakukan 22 perusahaan baik swasta maupun BUMN. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan pelanggaran izin ini dapat dijerat hukuman 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp 5 miliar.
"Pasal 38 (UU Kehutanan) menyebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan harus menggunakan izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. (Perusahaan-perusahaan) ini tidak (melengkapi izin)," kata Ali. LHP BPK menyebutkan pelanggaran ini dilakukan antara lain oleh  perusahaan KBI, FPI, dan CKA di Kota Waringin, kemudian JSP dan ZI di Kalimantan Tengah.

Pelanggaran kedua, kata Ali, terkait dengan izin pemanfaatan kayu (IPK) dan land clearing di kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Empat perusahaan, ujarnya, mendapatkan IPK tanpa ada keputusan pelepasan hutan. "Itu melanggar SK Menteri Kehutanan (yang mengatur) IPK diterbitkan setelah ada izin pelepasan kawasan hutan. Jadi, tidak ada izin sama sekali," katanya. Kemudian, pelanggaran ketiga terkait penerbitan surat keterangan sahnya kayu bulat. Hal itu dilakukan di sebuah perusahaan di Halmahera Timur. "Untuk kayu bulat sebanyak 119.000 kubik senilai Rp 58,1 miliar tidak sah. Memiliki potensi kerugian negara," ujarnya.

Ali menjelaskan, 26 perusahaan tersebut sebagian besar adalah perusahaan swasta, sedangkan perusahaan BUMN yang masuk dalam temuan ini salah satunya AT. Di samping itu, Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Sutarman mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti laporan BPK tersebut. "Hasil tadi adalah audit untuk ditindaklanjuti dari aspek penegakan hukum mulai dari penyelidikan hingga penyidikan," katanya.

KOMPAS.com

Dalam menyikapi kasus ini perusahaan yang tergolong berskala besar memang memungkinkan adanya perbuatan yang menyalahi aturan dari segi apapun walaupun hal yang kecil itu merupakan sudah menjadi hal yang sering terjadi. Penyalahgunaan pemanfaatan dari hasil bumi seharusnya dapat bisa ditekan karena sebelum dibangunnya industry tersebut mereka harus mengantongi izin usaha yang sah, agar tidak menyalahi etika dalam berbisnis.